Halaman Muka

Minggu, 07 Desember 2014

SELFIE LEADERSHIP STYLE

Catatan Ringan Taufikurrahman

Source: sidomi.com

Mungkin banyak di antara Anda yang gemar ber-"Selfie" ria. Ketika Anda sedang merasa "good mood" untuk narsis berfoto diri, namun tak ada orang lain yang bisa dimintai tolong untuk memotret Anda, maka Anda bisa memotret diri Anda sendiri, dengan kamera handphone, webcam, ataupun piranti digital lainnya, lalu diposting di social media. Itulah yang saat ini sedang "ngetrend" dengan sebutan "Selfie".

Konon sebenarnya Selfie bukan fenomena baru. Menurut tulisan Ryan Grenoble di Huffington Post, dan juga catatan Jonathan Symcox di situs Mirror, "Selfie" pertama di dunia kemungkinan adalah potret diri Robert Cornelius pada tahun 1839. Namun trend Selfie ini mendadak sangat mewabah dan fenomenal sepanjang tahun tahun lalu, sehingga bahkan kata "Selfie" disebut sebagai "Word of the Year 2013" oleh Oxford English Dictionary.

Begitu ramai orang ber-Selfie ria di sosial media, mulai dari selebriti papan atas sampai orang biasa yang baru sekedar bermimpi menjadi selebriti. Bahkan jagat pemberitaan pernah "geger" ketika Obama tertangkap kamera sedang ber-Selfie ria bersama rekan sejawatnya, Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Perdana Menteri Denmark Helle Thorning Schmidt, ketika tengah menghadiri prosesi duka cita wafatnya mendiang Nelson Mandela.

Minggu, 02 November 2014

LEADER AND CHEERLEADER

Source: www.moviecricket.com
Jika Anda penggemar serial televisi “HEROES”, yang pernah ditayangkan di NBC dan sempat sangat populer di kalangan pecinta film bergenre sains-fiksi-aksi beberapa tahun lalu, Anda mungkin masih ingat dengan tagline-nya yang amat terkenal dan unik, yaitu “Save the Cheerleader, Save the World.” Ketika pertama kali tayang di Indonesia, sebelum mengetahui jalan ceritanya, saya sempat heran dengan maksud tagline tersebut. Lha, apa hubungannya antara “Cheerleader” dengan para “Pahlawan” (Heroes)? Jaka Sembung pakai manik-manik, gak nyambung tapi unik. Setelah menonton, baru saya tahu, bahwa dalam film tersebut, si Cheerleader justru menjadi salah satu tokoh sentral di antara para tokoh “Pahlawan” lainnya.
Saya yakin Anda mafhum, bahwa dalam setiap pertandingan olahraga, peran para pendukung, baik supporter, cheerleaders, maupun fans, sangatlah penting. Tanpa penonton, pertandingan sepakbola akan terasa hampa dan aneh. Coba Anda bayangkan pertandingan El-Clasico antara Real Madrid vs Barcelona tanpa penonton. Atau pertandingan derby Manchester United vs Manchester City zonder penonton. Rasanya akan aneh, sepi, dan hampa, bukan? Suasananya akan lebih mirip latihan daripada pertandingan bola beneran.
Para “Pahlawan” atau Bintang sepakbola dengan skill luar biasa seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, dan Robin van Persie mungkin akan tetap dapat bermain bola dengan baik meski tanpa penonton, namun belum tentu akan bermain sama luar biasanya dengan jika mereka disupport oleh riuh rendahnya penonton dan para supporter fanatiknya di stadion. Karena energi penonton-lah yang membuat mereka mampu mengeksploitasi segenap kejeniusan dan kedashyatan bakat mereka bermain bola.
Ya, peran para pendukung, penyemangat, dan penggembira, baik berupa fans, penonton, supporter, tifosi, cheerleaders, pengikut, atau apapun namanya sangat penting untuk membangkitkan semangat juang para “bintang”, “pahlawan”, ataupun “pemimpin”. Bahkan seorang pelatih sepakbola yang angkuh dan “super-pede” seperti “The Special One” Jose Mourinho pun mengakui betapa dahsyatnya peran supporter, bahwa “passion” setiap supporter dan media sama pentingnya dengan para pemain, untuk membuat permainan sepakbola menjadi penuh gairah.
“…I think because of the passion of every English player and every English supporter, and every English journalist for the game, most of the game is played with passion…”, demikian kata Jose Mourinho ketika berbicara mengenai gegap-gempitanya sepakbola Inggris.

Minggu, 05 Oktober 2014

ENERGY, ENERGIZER, EDGE, dan EXECUTE

Catatan Ringan Taufikurrahman Taufik


Source: www.linkedin.com
Pada suatu hari saya diundang untuk memberikan “Kuliah Umum” kepada ratusan adik-adik mahasiswa/mahasiswi di sebuah perguruan tinggi almamater saya tercinta. Esensinya adalah sekedar bagi-bagi “pengalaman” aktual mengenai praktik manajemen dan organisasi bisnis, bukan bagi-bagi “ilmu”, karena memang sebenarnya ilmu saya sama sekali belum semumpuni para dosen senior. Yang jelas, saya selalu senang diundang untuk "back to campus". Bagi saya, datang dan berbagi pengalaman dengan adik-adik mahasiswa/mahasiswi selalu merupakan kebahagiaan tersendiri sekaligus wujud kontribusi saya pada negeri, meski kecil-kecilan. Dan saya tidak pernah mau menerima fee ataupun honorarium, karena memang kegiatan seperti ini saya anggap sebagai "kerja bakti" untuk negeri. :)


Satu hal yang cukup mengejutkan sekaligus menyenangkan saya, ternyata adik-adik mahasiswa dan mahasiswi begitu antusias dan mengajukan sangat banyak pertanyaan-pertanyaan yang bagus dan bernas dalam sesi diskusi. Ratusan mahasiswa yang hadir serentak mengacungkan tangan begitu kesempatan bertanya dibuka. Luar biasa! Anak-anak kuliahan sekarang, meski baru semester kedua, ternyata sudah jauh lebih luas wawasannya dan sangat “haus” akan ilmu, tak malu-malu untuk bertanya. Mudah-mudahan, kelak mereka akan menjadi para pemimpin masa depan yang tak hanya berilmu dan skillful, namun juga bisa bersikap kritis.

SEMANGAT MELAYANI

Catatan Ringan Taufikurrahman Taufik


Siang itu saya diundang untuk bertemu eksekutif puncak sebuah perusahaan besar yang berminat untuk mengetahui lebih jauh mengenai berbagai produk dan solusi yang dapat disediakan oleh perusahaan kami. Beliau mengajak saya untuk lunch meeting di sebuah restoran. Karena khawatir terlambat, saya minta driver saya untuk parkir mobil di area SCBD, lalu saya melanjutkan perjalanan dengan menumpang Ojek meliuk-liuk membelah kemacetan. Tak apalah berpanas-panas, berkeringat, menembus polusi, dan berangin-angin ria naik ojek, karena bagi saya, ketepatan waktu adalah bagian dari "service excellence", layanan prima yang harus selalu saya usahakan untuk customer, bahkan meski baru "calon customer" sekalipun.

Bahkan pada berbagai kesempatan saya seringkali rela berjalan kaki sepanjang jalan Jendral Sudirman untuk mengejar waktu meeting dari gedung ke gedung, jika kebetulan lalu lintas sangat macet dan tak menemukan Ojek. Semuanya saya usahakan demi customer service excellence. Mungkin akan ada teman yang bertanya, "Pak Taufik, Anda kan Presiden Direktur perusahaan multinasional, lha kalau Anda datang ke meeting naik ojek, apakah Anda tidak malu gengsi Anda turun kalau terlihat oleh calon mitra bisnis?" Ah, bagi saya, bonafiditas itu tidak selalu harus dinilai dari penampakan. Akan jauh lebih tidak bergengsi lagi kalau sampai mengecewakan mitra bisnis karena datang terlambat ke lokasi meeting. Saya paham bahwa kebanyakan pebisnis biasanya punya jadwal meeting yang ketat dan padat, maka mereka sangat menghargai waktu. Maka berusaha tepat waktu adalah bagian dari upaya saya untuk selalu berkomitmen terhadap service excellence.

Minggu, 28 September 2014

JURUS "DISC" UNTUK MEETING & NEGOSIASI

Catatan Ringan Taufikurrahman Taufik


“Respect is a two-way street, if you want to get it, you've got to give it.” 
― R. G. Risch

Dengan bersemangat, sang Direktur berpenampilan rapi itu berbicara dan bercerita panjang lebar kepada saya yang berusaha mendengarkannya dengan takzim, sambil menikmati cemilan mix nuts dan kopi di meja. Beliau didampingi sekretarisnya yang tampak tekun mencatat poin-poin penting yang dibicarakan. Begitu semangatnya beliau bercerita, seperti tak pernah kehabisan bahan. Awalnya hanya berbicara soal bisnis, namun kemudian merambah ke berbagai topik, bahkan soal-soal politik, dan akhirnya ujung-ujungnya masuk ke topik yang "menyerempet-nyerempet" dan mengundang gelak tawa kami bertiga.

Whew, rupanya dalam meeting kali ini, saya berhadapan dengan tipe orang yang senang bercerita, suka ngobrol panjang lebar dan senang menyenangkan lawan bicaranya dengan berbagai guyonan lucu. Dari meeting selama dua jam itu, saya hitung-hitung, inti pembicaraan sebenarnya cuma dibahas sebentar dan menghasilkan kesepakatan bisnis hanya dalam waktu lima belas menit saja. Porsi waktu terbesar, apalagi kalau bukan diisi dengan obrolan ngalor-ngidul dengan berbagai topik.

Dalam kesempatan sebelumnya, saya sempat bertemu dengan seorang top eksekutif senior sebuah perusahaan besar. Sang Bapak yang sudah sepuh ini rupanya tipe orang yang biasa berkuasa penuh memegang kendali, dominan, hemat berbicara, namun tegas langsung masuk pokok pembicaraan. Suaranya berat, nadanya tegas, dan tak suka berbasa-basi. Saya hitung-hitung, selama meeting dua jam itu, beliau hanya sempat tersenyum dua kali saja, itupun hanya tersenyum tipis, actually. Pertama, ketika kami bersalaman di awal meeting. Kedua, ketika kami selesai meeting dan bersalaman lagi sebelum berpisah.

Itulah dua contoh dari sekian banyak asam garam dan suka duka yang pernah saya alami dalam berbagai meeting dan negosiasi. Selama saya "berkelana" dalam kurun waktu kurang lebih delapan belas tahun, dari sejak mengabdi di lingkungan Departemen Keuangan, lalu pindah kerja ke perusahaan migas multinasional, kemudian pindah ke World Bank, hingga kembali lagi ke perusahaan migas multinasional, loncat ke perusahaan migas BUMN, lalu kembali memimpin perusahaan multinasional, saya merasa beruntung merasakan begitu banyak pengalaman bertemu dan bernegosiasi dengan berbagai tipe manusia dari berbagai bangsa dengan karakter dan budaya yang berbeda-beda.

At least, akumulasi pengalaman itu membuat cakrawala berpikir saya menjadi lebih lapang secara vertikal dan horisontal. Banyak suka dukanya, susah dan senangnya, namun semuanya saya syukuri dan saya leverage sebagai bagian proses pembelajaran diri, melalui "learning by experiencing".

Why Does Sales Training Fail? It's Your Fault!

By John Doerr

OK, I hope I have your attention now.

Sales training is a multibillion-dollar business. In the U.S. alone, it is estimated to be more than $5 billion (according to Dave Stein in Sales Training: The 120-Day Curse from ES Research Group). Yet, also according to Stein, between 85% and 90% of sales training has no lasting impact after 120 days. If we do the math, that amounts to somewhere north of $4.25 billion of unproductive training.

In speaking to prospects about the sales training they plan to implement, more often than not they ask, "What is the most important thing we have to do to ensure that this investment in training will pay off?" While there are many things that can and should be done (see Why Sales Training Fails), the one I believe is most important is that senior management has to be committed.

Training is not something you do to someone and then go on your merry way, waiting for your newly jazzed sales force to bring in wealth, fame, and fortune. Sales training is a partnership with your sales team, your consultants, or whomever you expect to sell. In order for sales training to have any lasting impact, it must include evaluation, accountability, and continual improvement. In other words, it requires a commitment to manage the sales training process.

I know, not the most exciting of concepts. Maybe even a little boring. But sometimes boring things make the biggest difference.

Minggu, 14 September 2014

Hukum Berpikir Positif


Pygmalion dikenal sebagai orang yang suka berpikiran positif. Ia memandang segala sesuatu dari sudut yang baik. Apabila lapangan di tengah kota becek, orang-orang mengomel. Tetapi Pygmalion berkata, “Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini.” Ketika ada seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga, kawan-kawan Pygmalion berbisik, “Kikir betul orang itu.” Tetapi Pygmalion berkata, “Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih perlu”. Ketika anak-anak mencuri apel dikebunnya, Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba, “Kasihan, anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya.

Itulah pola pandang Pygmalion. Ia tidak melihat suatu keadaan dari segi buruk, melainkan justru dari segi baik. Ia tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain; sebaliknya, ia mencoba membayangkan hal-hal baik dibalik perbuatan buruk orang lain.

Code of Conduct the Samurai Warrior


Beberapa waktu lalu, untuk mengembalikan semangat setelah letih bekerja---lebay.com, penulis menyempatkan diri untuk menonton film dengan judul 47 Ronin. Apa mau dikata, ternyata film tersebut kurang memuaskan bila dibandingkan dengan beberapa novel dengan judul yang sama. Memang, tidak banyak film dilayar lebar yang sama bagusnya dengan cerita di dalam novel.

Minggu, 07 September 2014

MUTUALISME vs “MUTUNGISME”

Catatan Ringan Taufikurrahman Taufik

Taufik
Di pinggir Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, ada sebuah warung gado-gado yang menjadi salah satu tempat kuliner favorit saya di Jakarta. Gado-gadonya lezat, nikmat, namun dengan harga merakyat. Persis di sebelah warung gado-gado itu, mangkal pula seorang tukang es podeng, yang disamping berjualan es podeng, seringkali juga ikut membantu mengantarkan piring-piring gado-gado kepada para pelanggan yang memesan gado-gado dari dalam mobil. Rasa es podengnya lezat dan segar nian. Percayalah, kombinasi antara gado-gado dengan es podeng merupakan kombinasi yang dahsyat untuk menu makan siang Anda. Maknyuss, meminjam istilah pakar kuliner Bondan Winarno.
Tak heran, warung gado-gado itu selalu ramai pengunjung. Banyak pembeli bermobil mewah "nongkrong" di situ. Pada jam makan siang, jangan heran kalau Anda menjumpai mobil-mobil mewah berderet sepanjang jalan Kertanegara yang teduh itu. Bahkan beberapa kali makan siang di situ, saya "memergoki" serombongan ABG dan ibu-ibu muda cantik bermobil mewah asyik menikmati gado-gado di situ tanpa canggung.
Hubungan antara Tukang Gado-gado dan Tukang Es Podeng tersebut merupakan contoh sederhana sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Kalau menurut istilah ilmu biologi, ini adalah sebuah “Symbiosis Mutualisme". Dengan adanya tukang es podeng, maka warung gado-gado mendapatkan bantuan untuk menyajikan hidangan penutup yang lezat bagi pelanggan setianya, tanpa harus menyediakan sendiri menu penutup tersebut, yang bukan kompetensinya. Sehingga pelanggan gado-gado yang kebetulan suka es podeng semakin terpuaskan dan makin gemar mengunjungi warung gado-gado tersebut. Sedangkan si tukang es podeng mendapatkan rezeki dari banyaknya pelanggan warung gado-gado yang kebetulan juga menggemari es podeng. Sebuah kerja sama alamiah yang saling menguntungkan dan terwujud tanpa harus memerlukan MoU, Kontrak, ataupun perjanjian bisnis yang njlimet dan merepotkan. Dan ini hanya sebuah contoh, masih banyak contoh lainnya yang serupa, yang menunjukkan indahnya kerja sama bisnis model “win-win” ala rakyat kecil.

7 Steps to a Successful Sales Meeting

By Mike Schultz

You finally got the meeting!

Now what?

While getting a buyer to say "yes" to an initial sales meeting is a battle in and of itself, much success is determined by what happens in that first meeting. There are many mistakes to avoid, especially when you’re the one setting the meeting and driving the demand for your offerings.

At the very core, meetings set by you—the seller—flow differently than if the buyer contacted you and asked you to meet. After all, if you set the meeting, odds are the product, service, or solution you’re trying to sell isn’t on the buyer’s radar screen. You’re trying to persuade a buyer to put something on their agenda that they hadn’t otherwise been considering.

You need connect. You need to inspire. And you need to drive action.

Following these 7 steps will help you get there.

Minggu, 31 Agustus 2014

8 Signs Your Career Is in Trouble



By Steve Tobak  
Most people go to work, get a paycheck, and spend it. Not you. If I've got you pegged right (and I'm pretty sure I do), you've got more ambition than that. A lot more. And you're smarter than that. A lot smarter. Good for you.

As we used to say back in Brooklyn, that and 90 cents will get you on the subway. Don't tell me how much it costs now; I don't want to know.

In all seriousness, brains and ambition is a pretty good start to launch a career, but it's not enough, not by a long shot. You see, there are lots of things in the corporate world that affect you, but you've got to know how to read the tea leaves.

Positive Mindset dalam Empat Level Gelombang Otak

By Yodhia Antariksa

Dalam Law of Attaction (Hukum Tarik Menarik) kita mengetahui bahwa betapa sesungguhnya pola pikir dan rajutan imajinasi kita memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sejarah masa depan hidup kita. Demikianlah, jika kita selalu mampu menganyam pola pikir yang guyub dengan energi positif – dengan energi tentang keyakinan-diri, dengan pancaran optimisme yang kokoh, dan dengan sikap hidup yang selalu penuh rasa sukur – maka ada peluang besar bahwa hidup sejati kita akan benar-benar dilimpahi oleh sederet narasi tentang keberhasilan.

Sebaliknya, jika bentangan hidup kita selalu diharu-biru oleh rajutan pola pikir yang negatif – tentang bayangan kelam kegagalan, tentang rasa tak percaya diri, tentang kegamangan, dan sikap hidup yang selalu mengeluh serta menyalahkan pihak lain (tanpa mau jernih melakukan introspeksi) – maka besar kemungkinan hidup nyata kita benar-benar akan dipenuhi dengan elegi pilu kemalangan dan kenestapaan.

Itulah mengapa kaum bijak bestari memberi petuah agar kita bisa selalu melentikkan api optimisme dalam diri kita dan juga mampu merawat pola pikir positif. Positif melihat masa depan kita, positif melihat segenap tantangan yang menghadang, dan positif dalam berpikir serta berimajinasi.

Is Relationship Building in Sales Dead?

By Mike Schultz

There's been a lot of noise the last couple years declaring relationship selling dead. "The Internet has changed everything." "Personal connections don't matter anymore." "Selling is not about relationships." "Throw out everything you thought you knew about sales, Armageddon is coming!" Blah, blah, etc.

As we've discussed before, we strongly disagree with the idea that selling is not about relationships. Relationship building is still critical to winning sales. But it has changed. We wanted to know exactly how—from the buyers' perspective.

So we studied more than 700 buyers representing $3.1 billion in annual B2B purchases across multiple industries to learn what sales winners did differently from sellers who came in second.

We found that sales winners consistently do three things: They connect, convince, and collaborate with buyers. Our research found that sales winners make strong personal connections at more than double the rate of second-place finishers. Relationship building in sales is far from dead. So what's changed?

Minggu, 24 Agustus 2014

16 Principles of Influence in Sales

By Mike Schultz & John Doerr

When I was 6 I wanted a basketball for my birthday. I didn’t ask my dad for it myself. I sent in the big gun: my sister Allyson.

I gave her the 411 on what I wanted and why, and we proceeded with a white board session where we mapped out all of the possible ways to get the decision makers to rule in our favor. (OK, as talented an 8 year old as Allyson was, maybe there was no white board. But we did talk about it, and she was a mean sidewalk chalk girl.)

Shortly thereafter, we green-lighted operation Cedric Maxwell.

A few hours later, the qualified decision maker (a.k.a. Dad) came to see me. As he tells me the story, he asked me why I sent my sister in to lobby for me.

My answer, “She’s the better convincer.”

I wish I could say something like, “Since that day I began a life journey to unearth, study, and master the principles of influence,” but, as I recall, I was distracted that afternoon with the magical world of Shrinky Dinks.

I did, however, learn that I’m not a natural influencer or persuader. Some people, like dear ole sis, are. But not me.

When my career path landed me in business leadership and sales, I started to notice a number of other naturally talented “convincers” around me, but they were outnumbered quite a bit by folks more like me; I might have known what I wanted, and known I wanted to influence people and events, but I was no better than average at it.

Tugas Medical Representative : Detailing

Proses komunikasi antara Medical Representative dan customer (paramedis) untuk menawarkan produknya biasanya disebut sebagai detailing. Itulah sebabnya maka medical representative disebut juga detailer. Detailing ini sangat penting, karena inilah tujuan utama keberadaan seorang Medical Representative. Dilakukan secara rutin, biasanya untuk customer / dokter yang berpotensi besar (memiliki jumlah pasien yang banyak, seorang Key Opinion Leader, atau pejabat / pemilik rumah sakit.klinik), dikunjungi minimal seminggu dua kali agar nama produk yang ditawarkan benar-benar menancap di benak customer. Karena rutin dikunjungi, maka agar customer tidak jenuh bertemu dengan medical representative, diperlukan kemampuan detailing yang baik dan menarik.

10 Essential Selling Principles Most Salespeople Get Wrong

Several months ago, a client of mine who runs a small, profitable business serving other businesses shared with me that she was receiving powerful sales training from Sandler Training, and my ears perked up.  Many entrepreneurial women I coach find the sales process extremely challenging and perplexing, and fewer still have had the courage to walk directly into their challenges by signing up for sales training. 
I was intrigued by what she shared, so I purchased the book The Sandler Rules: 49 Timeless Selling Principles and How to Apply Themwritten by David Mattson, CEO of Sandler Training.  I found it to be chock full of integrity-aligned sales principles and strategies that move sales away from a “sleazy” endeavor of trying to pull a fast one over on your would-be client, to a more empowering, empathic, curious and open sharing of your talents and services in a way that creates a win/win relationship for all involved.
Dave shared that despite Sandler Training’s growing popularity, sales people the world over still continue to commit sales suicide through common blunders and mistakes. While many learn from those mistakes, others fall into the same selling traps continuously.I reached out to Dave Mattson to learn more about what Sandler teaches that makes them so effective. Founded in 1967, Sandler Training has helped thousands of companies become more profitable by training sales professionals with a unique selling system of techniques and guiding principles that focuses on asking questions, talking less, educating more, and knowing when to walk away. In many ways, these ideals are fundamentally different from traditional sales techniques, but Sandler is obviously doing something right. Sandler Training is the world’s leader in sales development training programs for salespeople at small, medium and Fortune-sized businesses as well for as solopreneurs, entrepreneurs and independent consultants, delivering an estimated 92,000 training hours per year.

Minggu, 17 Agustus 2014

Males Ngantor

 by: Dadang Kadarusman

Hari ini bangun pagi Anda gampang apa susah? Maksudnya gampang adalah; ketika alarm berbunyi Anda langsung bangun, ataukah hanya menggeliat lalu mematikan alarm itu. Dan kemudian menarik selimut lagi. Atau barangkali Anda sudah menggunakan alarm biologis yang tertanam dialam bawah sadar Anda, sehingga apapun situasinya; Anda bangun pada jam yang sama setiap harinya. Setelah bangun, bagaimana dengan mandi Anda? Lalu mengenakan pakaian kerja kan tentu saja. Nah, setelah berpakaian lengkap itu. Apakah Anda langsung berangkat ke kantor dengan penuh gairah? Ataukah, menghela nafas panjang dengan berat. Karena terbayang dalam benak Anda; jalanan yang macet, dan betapa beratnya memulai kerja kembali di hari senin ini? Heh, kenapa sih kok nanya sampai sedetil-detil itu? Usil banget ya saya ini. Kalau begitu, saya tarik kembali pertanyaan-pertanyaan itu. Tolong direnungkan saja ya. Tapi tak usah deh. Lupakan saja….

SHOULD YOU DRINK COFFEE? IF SO WHAT KIND AND HOW?

by J.E. Block M.D., Phd, FACP

Coffee is consumed as a leisurely relaxing beverage with potential health benefits and a slight concern of harm. But what is the benefit and does it outweigh the risk?  I have been researching the answer for over fifty years. Now I think I have the solution! Coffee has over a thousand chemicals, many formed during the roasting process. The bioactive componds are “boiled down to” caffeine, the Diterpenes (Cafestol and Kahweol) found in the oils, the healthy polyphenols (notably chlorogenic acid), some minerals (a little magnesium and even less potassium) and minimal vitamins. A healthy aspect of coffee is the wonderful aroma, which lasts a few minutes after it is brewed. This is due to aromatic hydrocarbons in the coffee that are rapidly vaporized. In experiments with laboratory rats, it was discovered that coffee aroma orchestrated the expression of more than a dozen genes and changed their protein expression, in ways that reduced the stress of sleep deprivation. Seventy-five percent of coffee’s flavor is smell alone. The grounds remove 85% of heavy metals (lead, copper, mercury, cadmium, and zinc) from tap water! They may also capture other heavy metals. Moreover, there are three preparations of coffee that are commonly consumed and worthy of discussion; boiled, unfiltered coffee, filtered coffee.

Atasan Yang Selalu Diingat


by: Dadang Kadarusman


Gampang, kalau sekedar ingin menjadi atasan yang selalu diingat oleh anak buahnya. Secara naluriah, bawahan selalu ingat terhadap atasannya. Makanya, ada bawahan yang setiap pagi malas ngantor. Karena pagi itu dia teringat punya jadwal rapat dengan atasannya. Atau, karena dia harus mengirimkan laporan kepada atasannya. Atau, karena atasannya hari ini masuk kantor lagi setelah beberapa hari traveling. Ada juga anak buah yang selalu bersemangat, karena dia ingat jika atasannya akan selalu ada ketika dibutuhkan. Apa saja. Pokoknya, selalu ada alasan kenapa anak buah selalu ingat atasannya. Tantangannya adalah; bagaimana caranya membuat agar anah buah selalu mengingat hal-hal positif kita. Bukan yang sebaliknya.

Simple Ways To Look Smarter

by Ken Myers

Everybody wants to look smart. They want other people’s respect and admiration. They want to be looked up to. The only problem is that oftentimes people go about appearing smart in all the wrong ways. If you are not careful, instead of looking smart you can look cocky, arrogant, and foolish. However, there are a few simple ways to look smart without falling into those categories.

Minggu, 10 Agustus 2014

Siapa Yang Layak Menjadi Pemimpin?

by: Dadang Kadarusman

Source: www.barnesandnoble.com
Andaikan kita boleh bereksperimen. Menanyakan pertanyaan ini; “Siapakah Yang Layak Menjadi Pemimpin?” kepada sekelompok orang secara individual. Kemungkinan kita akan mendapatkan jawaban seperti ini: Saya, Gue, Ane. Atau Aku. Memang sih, jawaban itu tidak akan sedemikian vulgarnya. Namun, di kantor-kantor kita selalu bisa menemukan orang yang merasa dirinya lebih layak untuk dipromomosikan menduduki jabatan tinggi dibanding seseorang yang menurut pendapatnya ‘nggak pantes’, kan? Apalagi menjelang pemilu seperti saat ini. Lihatlah disepanjang jalan toll, setiap perempatan atau tikungan. Ada banyak foto orang-orang ‘asing’ yang merasa bahwa wajahnya harus dikenal. Alasannya ya itu tadi. Karena mereka merasa bahwa dirinyalah yang layak untuk menjadi pemimpin. Tapi, sebenarnya siapa sih yang bisa secara obyektif menentukan seseorang layak menjadi pemimpin atau tidak itu? Bukan dirinya sendiri.

How To Learn To Take Responsibility

by Daniel Adetunji

Source: edenchanges.wordpress com

Responsibility is the ability to respond and act accordingly. You must understand that leadership is responsibility. Often times, most folks want to attain a high position in their job or life, but they are not ready to take the responsibility that comes with it. 
Promotion comes with responsibility. If you don’t want to pay the price that comes with promotion, then don’t dream to be promoted.

”Ability” in the above context does not refer to authority or energy. Ok, let me explain so you understand what I’m saying.

Let’s say you come into your room or office and you notice a painting that was supposed to be hanging on the wall slumped; take immediate action to reposition it rightly. If you walk away ignoring the dissonance, it means you’re not showing any sign of responsibility. If you have this ” I don’t care” attitude, stop it because it won’t take you anywhere. 
Don’t delay your promotion with your lackadaisical attitude. Put it off. Embrace humility. Take up responsibilities. I mean, take up responsibilities even when you’re not asked to.

Minggu, 03 Agustus 2014

Tukang Traktir

by Dadang Kadarusman

Siapa sih yang tidak mau berteman dengan orang yang suka mentraktir? Kayaknya sih, semua orang suka sekali berteman dengan tukang traktir ya. Kita suka kepada orang yang mentraktir minuman di café. Kita suka kepada orang yang mengeluarkan dompet untuk makan siang kita. Tentu kita juga suka sekali kepada orang yang membayari tiket nonton konser. Pokoknya, kalau pergi sama dia; dijamin seru deh. Itulah sebabnya, orang yang suka mentraktir orang lain selalu mempunyai banyak teman, iya kan? Pertanyaannya kemudian adalah; apakah orang yang suka mentraktir kita itu benar-benar mempunyai uang lebih banyak dari kita yang hobby sekali nebeng ini? Coba renungkan sekali lagi; apakah Anda yakin jika orang yang selalu Anda harapkan untuk mentraktir itu punya uang lebih banyak dari Anda?

How Passion Makes The Impossible Possible

by Scott Addis

Industry consultants spend a lot of time trying to understand people’s performance.  This includes, but is not limited to, an analysis of prospecting, sales skills, customer relationship management and differentiated business development initiatives.  The consultant’s performance indicators focus upon a host of quantifiable measures including the number of prospect calls, proposals, new business hit ratios and retention.

Business development performance can be enhanced through the strategies, activities and the measures listed above.  There is no question that a strategic business development plan, which incorporates a differentiated sales process, is essential.  However, what is often overlooked is a producer’s Emotional Energy – his or her Passion for the business.

Menjual Diri Kepada Anak Buah

by: Dadang Kadarusman

Soal ‘menjual diri’, tidak diragukan lagi jika konotasi kita sudah terbangun dengan baik, sehingga konteks yang ada didalam benak kita sudah langsung menuju kepada hal-hal positif. Kita, memang mesti pandai menjual diri. Agar keberadaan kita dihargai, kualitas kita diakui. Dan kepada kita diberikan kepercayaan yang selayaknya kita terima sebagai seorang pribadi yang berkualitas tinggi. Tapi… menjual diri kepada anak buah? Apakah tidak salah? Biasanya kan menjual diri itu kepada perusahaan atau pihak-pihak yang bisa mengambil keputusan. Tapi kepada anak buah. Haruskah kita menjual diri juga? Bagaimana menurut pendapat Anda?

The Voice. Anda tentu mengenal acara tivi spektakuler itu. Beda sekali gaya kompetisinya dibandingkan dengan reality show lainnya. Dalam The Voice, ada tahapan dimana ke-4 juri berebut untuk mendapatkan talenta terbaik yang ada. Dan untuk mendapatkan talenta itu, mereka mesti menjual dirinya kepada sang talenta. Jika ada peserta yang bagus, tentu lebih dari satu juri yang menginginkannya masuk kedalam teamnya. Namun itu juga berarti bahwa para juri itu mesti bersaing satu sama lain agar sang talenta memilih dirinya sebagai pelatihnya. Bayangkan. Bukan pelatih yang memilih murid. Tapi murid yang memilih pelatih. Dalam kondisi tertentu, murid menolak gurunya.

Kamis, 31 Juli 2014

Karyawan Tak Dikenal

by: Dadang Kadarusman

Kalau mendengar frase ‘orang tak dikenal’ atau ‘mayat tak dikenal’ atau ‘korban tak dikenal’ rasanya tidak terlalu aneh ya. Tapi coba Anda mendengar istilah ‘karyawan tak dikenal’. Aneh kan. Karyawan kok tidak dikenal. Gimana sih? Ya memang aneh. Tapi bisa saya pastikan bahwa dikantor-kantor banyak sekali karyawan yang tidak dikenal. Lho kok bisa? Memang kenyataannya begitu kok. Mereka memang saling kenal sih. Tapi hanya sebatas nama doang. Lebih dari itu mereka tidak saling mengenal dengan baik. Apalah artinya kalau cuman sekedar kenal nama ya kan?

5 Tasty Tips On Staying Super Motivated

by Simon Lunn

Source : jerichotechnology com
Staying constantly motivated and driven takes some effort. Nobody has achieved greatness, or their own personal dreams, without encountering opposition on the way.

Some research into the most remarkable of people will confirm this. Those who believe that achievement is reliant on financial or environmental circumstances have never delved into the lives of some of the most successful people in every field from A to Z.

Success relies almost completely on inner  environment, and the mind needs as much proper nourishment as the rest of the body.

What then are the recipes for success?

Here are just a few essential ingredients…

Ten Rules for High Performing Teams

 by Ronald E. Riggio, Ph.D. in Cutting-Edge Leadership

Success in today's work world is more about team than individual performance. A team is more than just a group of workers, located together, doing their jobs. Real teams are interdependent. That means they must rely on one another to get the job done. So what are best practices for effective teams? Here are 10 rules from a chapter on "Best Practices in Team Leadership" by Kevin Stagl, Eduardo Salas, and C.Shawn Burke.

Senin, 16 Juni 2014

Tugas Medical Representative: Call Dokter


Tugas utama seorang Medical Representative (Medreps / Detailer) adalah melakukan kunjungan secara rutin ke dokter. Ada dokter yang dikunjungi seminggu sekali, ada juga yang cukup 2 kali sebulan. Bahkan untuk dokter-dokter tertentu, ada yang dikunjungi lebih dari sekali dalam seminggunya. Lalu berapakah jumlah yang harus dikunjungi setiap minggunya? Jumlahnya bervariasi pada setiap perusahaan farmasi. Ada yang mewajibkan 12 dokter per hari, dengan demikian, seminggu harus mengunjungi 60 dokter ( Senin-Jum'at, Sabtu apabila masuk, digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan administrasi). Ada pula yang lebih dari itu.

How to Become a Pharmaceutical Drug Representative

A career as a pharmaceutical sales rep can a highly lucrative and rewarding one, with average salaries ranging between $60,000-$80,000 per year. Most pharmaceutical sales reps are employed by leading drug companies around the country, and are responsible for informing the public, doctors, and hospitals about the latest products available. Sales representatives set up appointments with doctors and hospitals in an effort to persuade them to purchase a particular product or new drug on the market.

Getting a job as a pharmaceutical sales rep doesn't require a college degree, although most employer's prefer a strong education and at least a bachelor's degree in science. Associate degrees in business or a medical field can also be enough to obtain a job in this field; the key traits most drug companies are looking for is a business mind-set, confidence, the ability to learn and grow with the company, and keeping up to date on medical trends and research. College students can start to look for placement with major drug companies, and interviews are often conducted on college campuses throughout the country.

Successful pharmaceutical reps can start by working with a supervising sales representative to learn the basic  process, and will gain the most advantage by increasing their product knowledge and learning how to speak to the medical audience. They need to be persuasive, charismatic, and learn how to speak clearly under pressure. During the interview, the hiring manager will most likely ask questions such as:

  • What do you think is the most challenging aspect of a pharmaceutical representative?
  • Why is a sales mindset important for the pharmaceutical sales rep?
  • How would you convince a physician to switch to a preferred brand?

Pharmaceutical sales are a competitive industry, and the rep needs to learn how to handle rejection! It is also prestigious in nature; most drug companies offer attractive salaries, benefits, and use of a company car. Getting a job in the field may require some proactive searching and ongoing interviews with multiple employers. You have to be a self-starter, ambitious, confident, ethical, and positive. Still your efforts and hard work can be very rewarding.

Minggu, 08 Juni 2014

Six Strategies to Secure Your Job and Advance

How to stand out and move up in your career

“Job security is gone. The driving force of a career must come from the individual.”
– Homa Bahrami

"Regardless of age, regardless of position, regardless of the business we happen to be in, all of us need to understand the importance of branding. We are CEOs of our own companies: Me Inc. To be in business today, our most important job is to be head marketer for the brand called You."
– Tom Peters

Minggu, 01 Juni 2014

Learning The Most Negotiation Simulation


source: Hingdranata Nikolay
Selama dua dekade terakhir, para mahasiswa MBA dan eksekutif mempelajari teknik negosiasi melalui simulasi - situasi negosiasi tiruan dimana mereka bereksperimen dengan teknik dan strategi baru. Peneliti negosiasi mengembangkan ratusan jenis simulasi, kebanyakakan berdasarkan kasus nyata, untuk mengajarkan konsep penting dalam negosiasi.
Para peneliti juga menemukan bahwa latihan dalam setting dengan resiko rendah adalah cara yang ideal bagi para manajer untuk mempelajari teknik negosiasi baru. Kami juga menyimpulkan bahwa simulasi negosiasi hanya akan berhasil bila trainee yang menolak pendekatan aktif untuk belajar; sebaliknya mereka berharap akan mendapat contoh dari instruktur dan mencatat.

Pelatih negosiasi melalui simulasi mengikuti tiga langkah yang ditemukan oleh ahli psikologis Kurt Lewis. Langkah pertama adalah membantu trainee "mencairkan" (melepaskan) pendekatan yang digunakan saat ini, biasanya dengan memegang cermin dan mempertanyakan asumsi yang sudah melekat. Kemudian, instruktur akan membantu trainee mengubah logika mereka dengan membayangkan pendekatan yang lebih efektif untuk tugas yang sama. Akhirnya, melalui simulasi, para trainee akan mencoba pendekatan baru dalam situasi yang aman dimana tindakan mereka tidak akan dinilai dan direkam.

Menekuni Hobi Sebagai Pekerjaan

by Sylvina Savitri, EXPERD Consultan

source: Hingdranata Nikolay
Setiap orang punya hobi. Dan melakukan aktivitas yang berhubungan dengan hobi ini memang mengasyikkan. Gak pernah ada bosannya. Yang hobi otomotif, bisa berjam-jam ngulik mobil dan ngendon di bengkel. Yang hobi membaca bisa rela berjam-jam menghabiskan sebuah buku. Yang hobi musik dan menyanyi, rela puasa supaya bisa selalu membeli kaset dan CD terbaru.

Bagi yang bekerja, hobi bisa jadi sarana untuk mengurangi stress atau sekedar untuk refresh dari rutinitas kerja. Asyiknya lagi, sekarang hobi bisa membawa kita ke komunitas sosial yang lebih luas. Lihat saja, sekarang ini banyak mailing list untuk orang-orang yang sehobi: milist pecinta buku, milist pecinta nonton, milist kebugaran dan kesehatan, milist otomotif, dan sebagainya. Tapi, yang paling asyik tentunya, adalah kalau hobi bisa mendatangkan uang!

Hobi yang akhirnya mendatangkan uang memang bukan cerita baru. Banyak contoh kasus kesuksesan besar yang berawal dari hobi. Yang paling sederhana adalah penyanyi. Dengan menekuni hobi menyanyi, bisa membawa seseorang ke ketenaran, lihat saja para akademia fantasi indosiar (AFI) yang dari sekedar hobi menyanyi sampai jadi digandrungi. Fira Basuki yang hobi menulis dan akhirnya produktif mengeluarkan beberapa novel. Rudi Khoirudin yang hobi memasaknya menjadikannya popular di bidang kuliner. Atau yang paling dahsyat seperti Bill Gates, si bapak Microsoft, yang hobi ngulik komputernya membawanya menjadi tersohor.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...