Halaman Muka

Minggu, 28 September 2014

JURUS "DISC" UNTUK MEETING & NEGOSIASI

Catatan Ringan Taufikurrahman Taufik


“Respect is a two-way street, if you want to get it, you've got to give it.” 
― R. G. Risch

Dengan bersemangat, sang Direktur berpenampilan rapi itu berbicara dan bercerita panjang lebar kepada saya yang berusaha mendengarkannya dengan takzim, sambil menikmati cemilan mix nuts dan kopi di meja. Beliau didampingi sekretarisnya yang tampak tekun mencatat poin-poin penting yang dibicarakan. Begitu semangatnya beliau bercerita, seperti tak pernah kehabisan bahan. Awalnya hanya berbicara soal bisnis, namun kemudian merambah ke berbagai topik, bahkan soal-soal politik, dan akhirnya ujung-ujungnya masuk ke topik yang "menyerempet-nyerempet" dan mengundang gelak tawa kami bertiga.

Whew, rupanya dalam meeting kali ini, saya berhadapan dengan tipe orang yang senang bercerita, suka ngobrol panjang lebar dan senang menyenangkan lawan bicaranya dengan berbagai guyonan lucu. Dari meeting selama dua jam itu, saya hitung-hitung, inti pembicaraan sebenarnya cuma dibahas sebentar dan menghasilkan kesepakatan bisnis hanya dalam waktu lima belas menit saja. Porsi waktu terbesar, apalagi kalau bukan diisi dengan obrolan ngalor-ngidul dengan berbagai topik.

Dalam kesempatan sebelumnya, saya sempat bertemu dengan seorang top eksekutif senior sebuah perusahaan besar. Sang Bapak yang sudah sepuh ini rupanya tipe orang yang biasa berkuasa penuh memegang kendali, dominan, hemat berbicara, namun tegas langsung masuk pokok pembicaraan. Suaranya berat, nadanya tegas, dan tak suka berbasa-basi. Saya hitung-hitung, selama meeting dua jam itu, beliau hanya sempat tersenyum dua kali saja, itupun hanya tersenyum tipis, actually. Pertama, ketika kami bersalaman di awal meeting. Kedua, ketika kami selesai meeting dan bersalaman lagi sebelum berpisah.

Itulah dua contoh dari sekian banyak asam garam dan suka duka yang pernah saya alami dalam berbagai meeting dan negosiasi. Selama saya "berkelana" dalam kurun waktu kurang lebih delapan belas tahun, dari sejak mengabdi di lingkungan Departemen Keuangan, lalu pindah kerja ke perusahaan migas multinasional, kemudian pindah ke World Bank, hingga kembali lagi ke perusahaan migas multinasional, loncat ke perusahaan migas BUMN, lalu kembali memimpin perusahaan multinasional, saya merasa beruntung merasakan begitu banyak pengalaman bertemu dan bernegosiasi dengan berbagai tipe manusia dari berbagai bangsa dengan karakter dan budaya yang berbeda-beda.

At least, akumulasi pengalaman itu membuat cakrawala berpikir saya menjadi lebih lapang secara vertikal dan horisontal. Banyak suka dukanya, susah dan senangnya, namun semuanya saya syukuri dan saya leverage sebagai bagian proses pembelajaran diri, melalui "learning by experiencing".

Why Does Sales Training Fail? It's Your Fault!

By John Doerr

OK, I hope I have your attention now.

Sales training is a multibillion-dollar business. In the U.S. alone, it is estimated to be more than $5 billion (according to Dave Stein in Sales Training: The 120-Day Curse from ES Research Group). Yet, also according to Stein, between 85% and 90% of sales training has no lasting impact after 120 days. If we do the math, that amounts to somewhere north of $4.25 billion of unproductive training.

In speaking to prospects about the sales training they plan to implement, more often than not they ask, "What is the most important thing we have to do to ensure that this investment in training will pay off?" While there are many things that can and should be done (see Why Sales Training Fails), the one I believe is most important is that senior management has to be committed.

Training is not something you do to someone and then go on your merry way, waiting for your newly jazzed sales force to bring in wealth, fame, and fortune. Sales training is a partnership with your sales team, your consultants, or whomever you expect to sell. In order for sales training to have any lasting impact, it must include evaluation, accountability, and continual improvement. In other words, it requires a commitment to manage the sales training process.

I know, not the most exciting of concepts. Maybe even a little boring. But sometimes boring things make the biggest difference.

Minggu, 14 September 2014

Hukum Berpikir Positif


Pygmalion dikenal sebagai orang yang suka berpikiran positif. Ia memandang segala sesuatu dari sudut yang baik. Apabila lapangan di tengah kota becek, orang-orang mengomel. Tetapi Pygmalion berkata, “Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini.” Ketika ada seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga, kawan-kawan Pygmalion berbisik, “Kikir betul orang itu.” Tetapi Pygmalion berkata, “Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih perlu”. Ketika anak-anak mencuri apel dikebunnya, Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba, “Kasihan, anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya.

Itulah pola pandang Pygmalion. Ia tidak melihat suatu keadaan dari segi buruk, melainkan justru dari segi baik. Ia tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain; sebaliknya, ia mencoba membayangkan hal-hal baik dibalik perbuatan buruk orang lain.

Code of Conduct the Samurai Warrior


Beberapa waktu lalu, untuk mengembalikan semangat setelah letih bekerja---lebay.com, penulis menyempatkan diri untuk menonton film dengan judul 47 Ronin. Apa mau dikata, ternyata film tersebut kurang memuaskan bila dibandingkan dengan beberapa novel dengan judul yang sama. Memang, tidak banyak film dilayar lebar yang sama bagusnya dengan cerita di dalam novel.

Minggu, 07 September 2014

MUTUALISME vs “MUTUNGISME”

Catatan Ringan Taufikurrahman Taufik

Taufik
Di pinggir Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, ada sebuah warung gado-gado yang menjadi salah satu tempat kuliner favorit saya di Jakarta. Gado-gadonya lezat, nikmat, namun dengan harga merakyat. Persis di sebelah warung gado-gado itu, mangkal pula seorang tukang es podeng, yang disamping berjualan es podeng, seringkali juga ikut membantu mengantarkan piring-piring gado-gado kepada para pelanggan yang memesan gado-gado dari dalam mobil. Rasa es podengnya lezat dan segar nian. Percayalah, kombinasi antara gado-gado dengan es podeng merupakan kombinasi yang dahsyat untuk menu makan siang Anda. Maknyuss, meminjam istilah pakar kuliner Bondan Winarno.
Tak heran, warung gado-gado itu selalu ramai pengunjung. Banyak pembeli bermobil mewah "nongkrong" di situ. Pada jam makan siang, jangan heran kalau Anda menjumpai mobil-mobil mewah berderet sepanjang jalan Kertanegara yang teduh itu. Bahkan beberapa kali makan siang di situ, saya "memergoki" serombongan ABG dan ibu-ibu muda cantik bermobil mewah asyik menikmati gado-gado di situ tanpa canggung.
Hubungan antara Tukang Gado-gado dan Tukang Es Podeng tersebut merupakan contoh sederhana sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Kalau menurut istilah ilmu biologi, ini adalah sebuah “Symbiosis Mutualisme". Dengan adanya tukang es podeng, maka warung gado-gado mendapatkan bantuan untuk menyajikan hidangan penutup yang lezat bagi pelanggan setianya, tanpa harus menyediakan sendiri menu penutup tersebut, yang bukan kompetensinya. Sehingga pelanggan gado-gado yang kebetulan suka es podeng semakin terpuaskan dan makin gemar mengunjungi warung gado-gado tersebut. Sedangkan si tukang es podeng mendapatkan rezeki dari banyaknya pelanggan warung gado-gado yang kebetulan juga menggemari es podeng. Sebuah kerja sama alamiah yang saling menguntungkan dan terwujud tanpa harus memerlukan MoU, Kontrak, ataupun perjanjian bisnis yang njlimet dan merepotkan. Dan ini hanya sebuah contoh, masih banyak contoh lainnya yang serupa, yang menunjukkan indahnya kerja sama bisnis model “win-win” ala rakyat kecil.

7 Steps to a Successful Sales Meeting

By Mike Schultz

You finally got the meeting!

Now what?

While getting a buyer to say "yes" to an initial sales meeting is a battle in and of itself, much success is determined by what happens in that first meeting. There are many mistakes to avoid, especially when you’re the one setting the meeting and driving the demand for your offerings.

At the very core, meetings set by you—the seller—flow differently than if the buyer contacted you and asked you to meet. After all, if you set the meeting, odds are the product, service, or solution you’re trying to sell isn’t on the buyer’s radar screen. You’re trying to persuade a buyer to put something on their agenda that they hadn’t otherwise been considering.

You need connect. You need to inspire. And you need to drive action.

Following these 7 steps will help you get there.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...