Halaman Muka

Senin, 30 Maret 2015

Just Being Happy Can Be Complicated

The pursuit of happiness can be misguided or make you sick.



It’s understandable why people would want to be happier. And in order to find happiness, numerous self-help books will tell you exactly what to do, how to do it, and how often to do something. But happiness can be an elusive goal.

Researchers have found that valuing happiness might be self-defeating, since the more you value happiness the more likely you might be to experience disappointment when you’re not happy (Mauss, Tamir, Anderson, & Savino, 2011). Essentially, people who highly value happiness may set standards for it that are hard to achieve, and when people cannot obtain the standards that they have set for themselves they are bound to be disappointed (Mauss et al., 2011). Thus, in the case of wanting happiness, these researchers conclude that people may feel worse off the more they want it, and that valuing or overvaluing happiness can possibly lead you to be less happy, even if happiness is within your reach.

Whether or not you think you should be happier may depend upon your subjective assessment of what happiness is for you. What defines happiness differs among people. For example, how you measure your own happiness in relation to the obstacles you presently face may be influenced by your culture and socioeconomic status. Being privileged may interfere with your happiness rather than protect it. If you grew up most often having your needs met because your family had money, status, or power it’s likely that your perception of your interpersonal influence and your ability to control your environment is much greater than a peer whose family had low socioeconomic status and therefore learned to adapt to circumstances (Cohen, 2009; Snibbe & Markus, 2005). When preferences are unavailable and the potential for disappointment is high, people of high socioeconomic status who have learned to value control and a sense of agency tend to be more upset than people from a culture of low socioeconomic status who value flexibility, integrity, and resilience (Cohen, 2009; Snibbe & Markus, 2005). Therefore, depending upon your perspective, not getting what you want may result in frustration and disappointment, or it can be an opportunity to employ your skills at adaptation.

Primarily in Western culture, emotions that are uplifting, such as joy, elation, amusement, or gladness, are considered to be positive and are associated with individual success, good health, and high self-esteem. Although Westerners may assume that all people should strive to experience more positive emotion in their lives, this may not be the case for other cultures, according to researchers Janxin Leu, Jennifer Wang, and Kelly Koo (2011). They point out that in many Asian cultural contexts happiness may be associated with negative social consequences, such as jealousy in others. The goal may be moderation of positive emotion, instead of maximization, in cultures informed by the Buddhist belief that pure pleasantness is impossible to attain or can lead to suffering.  The researchers found that culture makes a difference in the role that positive emotions play in mental health, and that positive emotions may not be as positive for Asians as for European Americans.Therefore, emotion moderation through balancing positive and negative emotions may be a cultural goal in Asian contexts, but in Western contexts maximizing positive emotions may be a cultural goal.

S O P



Ini adalah salah satu kalimat paling popular diantara kita;”Jika bisa di bikin sulit, mengapa dibuat mudah…?” Awalnya kita hanya menganggap itu sebagai sindiran. Lalu berubah menjadi guyonan. Kemudian berevolusi menjadi kebiasaan yang menggoda kita untuk melakukannya juga. Maka tidak heran jika semakin hari, semakin jarang kita temukan orang-orang yang melayani dengan semangat untuk memudahkan urusan orang lain. Cobalah ingat-ingat kembali, mana yang lebih banyak Anda rasakan; pelayanan yang memudahkan urusan Anda atau sebaliknya?

Istri saya memiliki pengalaman menarik. Suatu ketika dia menemani ibunya untuk kebutuhan pelayanan kesehatan di tempat yang jauh. Dia sudah membawa ibu kami ke berbagai tempat, sehingga mempunyai referensi pelayanan dari pengalaman sebelumnya. Di tempat terakhir ini, dia mendapatkan pengalaman berbeda. Sebagai orang baru dia tidak mengenal budaya setempat. Bukan itu saja, beberapa kelengkapan administrasi tidak terbawa pula. Apa yang terjadi? Dia diminta untuk duduk di ruang tunggu, sedangkan ‘semua urusan’ ditangani oleh seseorang yang melayaninya di tempat itu. “Kenapa sih tempat kita sendiri aku tidak menemukan pelayanan seperti ini?” begitulah kalimat yang dilontarkannya. Jawabannya sederhana saja; kita tidak terbiasa untuk memudahkan urusan orang lain. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar memudahkan urusan orang lain, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intellligence berikut ini:

Why Intelligent People Get Stuck


My friend Tucker is one of the funniest, most incisive people I’ve ever met. Ever since he graduated from a prestigious university 15 years ago, he’s thrived in the intellectual circles of New York City, where his easygoing charm has won him friends in every branch of the arts.
In almost every way his life was a success. But career-wise, he was in the deep freeze. Having quickly landed a low-level job with a prestigious publishing company soon after graduation, he languished in the same job. What he really wanted was to be a professional illustrator, but he’d had to get by doing clerical work as his creative-minded peers rose up through the ranks at magazines and advertising agencies.
What went wrong? In a word, fear. Tucker was such a star in his academic program at school that he had come to see himself as a person destined for extraordinary achievement. That self-conception made it impossible to move forward. If he tried to reach for the brass ring and failed, his self-conception would be punctured, a loss that he wouldn’t be able to bear.
Or so he thought. In reality, trying and failing would be painful, but not catastrophic. In fact, as Daniel Gilbert writes in Stumbling on Happiness, people who suffer great misfortunes in life often walk away feeling happier and more appreciative in the long term.

Senin, 23 Maret 2015

Cara Membangun Hubungan yang Kuat Pada Team

Membangun team yang solid dan perform adalah kunci keberhasilan. Seaorang leader harus memahami fase tumbuh-kembang tim sejak team terbentuk dan mengerti apa yang harus dilakukan pada sisi leadershipnya pada tiap fase tersebut. Di samping itu, Leader haruslah mengerti bagaimana membangun hubungan yang kuat dengan teamnya.

Membangun team bukanlah pekerjaan yang terlalu sulit, namun tidak juga gampang. Tugas ini ada pada seorang manager / leader. Team yang solid dan kuat akan menghasilkan performa yang tinggi. Bisa jadi tugas membina team adalah salah satu tugas terpenting seorang manager / leade. 

Workaholic: Dapat Merusak Karir Anda?

Netty Delima, EXPERD Consultant
Dalam era yang semakin kompetitif ini, banyak yang menempatkan pekerjaan sebagai hal yang terpenting dalam kehidupan. Seperti yang dialami oleh Sinta (28), seorang karyawati di sebuah perusahaan multinasional terkemuka. Ia memulai karirnya dari entry level tiga tahun yang lalu. Baru seminggu ini ia diangkat sebagai supervisor yang memiliki beberapa anakbuah. Prestasi yang dicapainya ini tentu saja ia peroleh dengan kerja keras, karena persaingan yang cukup tinggi dengan karyawan lainnya. 

Selain merasa bangga, ia juga semakin terpacu untuk memberikan performance yang lebih memuaskan. Kalau biasanya ia masih dapat menikmati akhir minggu dengan jalan-jalan di mal, kumpul-kumpul dengan keluarga atau olahraga, kini ia rela untuk lembur di kantor. Malam minggu ia habiskan untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor, dan tidak jarang pula ia membawa sebagian pekerjaannya ke rumah. Dengan tugas dan tanggung jawab yang semakin banyak, ia sering merasa kekurangan waktu untuk menyelesaikan tugasnya. Kadang-kadang, saat makan siang pun ia masih tetap memikirkan pekerjaan.

Senin, 02 Maret 2015

the real human best friend



Every human being needs a best friend. Menurut pendapat Anda, apakah itu betul? Saya kira iya. Kita semua mendambakan untuk memiliki sahabat dalam hidup kita. Sekarang cobalah ingat-ingat kembali tentang sahabat-sahabat yang pernah Anda miliki. Lalu pilihlah siapakah diantara mereka yang layak mendapatkan gelar sebagai sahabat terbaik bagi Anda. Jika Anda sudah memilihnya, lalu tanyakan kembali; mengapa dia bisa disebut sebagai sahabat terbaik bagi Anda?

Saya lahir dan dibesarkan di daerah pertanian yang masih dilingkupi suasana alam bebas. Ayah saya memiliki berbagai hewan ternak yang harus dijaga siang dan malam. Oleh sebab itu, kami memelihara beberapa ekor anjing. Kami sepenuhnya sadar jika banyak orang yang menilai buruk kepada anjing. Namun diantara sejumlah sisi buruk itu, kami menemukan banyak sisi baik yang mengagumkan. Bahkan, anjing memperlihatkan banyak kualitas positif yang diabaikan oleh manusia. Padahal, mestinya sih manusia yang memiliki semua kebaikan itu. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar tentang kebaikan dari perilaku anjing; saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1. Tutur kata yang baik selalu mendapat tempat yang baik
Kualitas seekor anjing dinilai dari gonggongannya. Bahkan sekalipun Anda tidak memiliki anjing, Anda bisa membedakan gonggongan bernada mengancam dengan gonggongan yang hangat bersahabat. Manusia juga sama. Kita menilai seseorang dari apa yang diucapkan oleh lidahnya. Kita cenderung menyukai orang-orang yang memiliki tutur kata santun dan sopan. Sebaliknya, kita tidak terlalu nyaman berkomunikasi dengan mereka yang kasar dan arogan. Maka pantaslah jika orang tua kita menasihatkan untuk senantiasa menjaga lisan. Karena lisan sering ‘menentukan nasib’ seseorang. Meski para pemilik anjing cenderung menyukai gonggongan anjing mereka sendiri, namun mereka pun mengakui jika anjing orang lain mempunyai gonggongan yang lebih baik dari anjing miliknya. Meskipun manusia memiliki banyak perbedaan dan cenderung menyukai pendapat kelompok masing-masing, namun setiap orang memahami ‘bahasa universal’ yang berisi pesan-pesan tentang kebaikan. Makanya, ketika Anda menyuarakan pesan kebaikan, pasti kebanyakan orang menyukainya. Mereka tidak mempertanyakan agama Anda apa, atau jumlah uang Anda berapa. Karena setiap tutur kata yang baik, selalu mendapat tempat yang baik, dihati orang-orang baik.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...